Click here to go to blog index
Akulturasi warga Tionghoa
2011-03-15 18:14:26

http://article.wn.com/view/2006/01/13/Sincia_dan_Tionghoa/

Harian SUARA MERDEKA

http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/24/kha1.htm

Sabtu, 24 Januari 2004 Karangan Khas 

Akulturasi Warga Tionghoa

Oleh: A Rudyanto Soesilo

DATANGNYA Tahun Baru Imlek 2555 disambut baik oleh warga Tionghoa dan warga Indonesia yang lain. Semua perayaan menimbulkan happiness baik bagi yang merayakan maupun yang tidak merayakannya. Bagi yang tidak merayakan, mereka pun bergembira dan menonton peringatan itu dengan bersuka. Kelucuan barongsai dan atraksi naga, disambut baik oleh segenap masyarakat tanpa terkecuali sebagai tontonan yang menarik.

Makna penyambutan terhadap Tahun Baru Imlek merupakan simbol baru pada era postmodern ini. Era postmodern yang dimulai lebih kurang tahun 70-an, diwarnai dengan multikulturalisme, anything goes, saling mengapresiasi antarbudaya, saling mengisi, dan saling membiarkan hidup. Dunia pernah digetarkan oleh beberapa despot-otoriter sinting macam Adolf Hitler yang melakukan genosida, pembantaian etnis dengan kamar gas. Juga beberapa peristiwa lainnya, seperti Serbia-Bosnia dan sebagainya.

Di Indonesia Pemerintah Orde Baru juga merancang konsep serta program perlakuan terhadap etnis Tionghoa, baik yang warga negara Indonesia maupun yang berstatus warga negara asing. Intinya adalah pelupaan budayanya dengan berbagai cara. Misalnya, pelarangan-pelarangan aktivitas budaya, penggantian-nama diri, tetapi dengan tetap pemberian stigma, lewat pengodean KTP, pengharusan SBKRI (surat bukti kewarganegaraan Indonesia), dan program yang disebut asimilasi, alias upaya merekayasa ke arah kawin-campur. Tujuannya untuk pembaruan dalam arti fisik, yakni penghilangan ciri-ciri fisik.

Yang seperti itu sempat diberi joke, kalau despot Hitler menggenosida dengan kamar gas, sedangkan rezim Orde Baru dengan "kamar pengantin".

Skenario Orde Baru terhadap sekelompok warga ini kemudian tercatat dalam sejarah dengan klimaksnya pada Kerusuhan Mei 1998. Peristiwa itu menjadi noda bagi sejarah bangsa ini di mata Internasional, sekaligus tonggak runtuhnya rezim Orde Baru.

Asimilasi atau Akulturasi?

Tampaknya pada era postmodern ini, kita harus lebih berhati-hati dengan terminologi asimilasi. Apa pun metodenya, asas multikultural menemukan metode itu justru lewat akulturasi. Artinya, hal itu melalui percampuran dan peleburan budaya menjadi suatu budaya baru dengan masih memperlihatkan ciri-cirinya sendiri. Berbeda dari asimilasi yang merupakan percampuran budaya dengan menghilangkan atau tidak menampakkan ciri-ciri aslinya. Fenomena kaum Babah atau Tionghoa-peranakan adalah suatu fenomena akulturasi yang sangat signifikan.

Kebaya encim merupakan desain akulturatif antara budaya Tionghoa dan budaya sarung dan kebaya tradisional Jawa. Hal itu menjadi sangat pas dengan kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa peranakan, yang kemudian lebih senang dipanggil Tionghoa ketimbang Cina.

Atau mungkin tarian barongsai yang kemudian muncul tari barong, tari singa-singaan, makanan bakso dan bakmi yang malah terkenal dengan masakan khas bakmi-Jawa, seperti yang sekarang kita baca dan nikmati pada gerobak-gerobak favorit kita.

Mispersepsi

Salah satu bentuk isu yang sering distereotipkan terhadap warga Tionghoa waktu itu adalah contoh klasik yang terasa konyol, seperti tentang siskamling, jaga-malam, dan sejenisnya. Selalu dikisahkan, warga Tionghoa yang bermukim di pinggir-pinggir jalan tidak mau berpartisipasi, bahkan malah membayar orang lain untuk menggantikan jaga malam. Cerita begini tentunya amat laku dan langsung disetujui dan disahkan sebagai stereotip yang cocok.

Secara arif kita hendaknya lebih menganalisis duduk perkaranya. Dengan sistem RT (rukun tetangga) yang batas wilayah geografisnya meliputi daerah permukiman baik di pinggir jalan maupun di belakang jalan, hal itu semestinya tak dicampurkan begitu saja, untuk etnis dan suku apa pun. Persoalannya bukan perbedaan kultur antaretnis, melainkan perbedaan kultur tingkat kesibukan, keluangan waktu, pola konsumsi, kecepatan irama hidup, topik pembicaraan, dan tingkat ekonomi.

 

Seandainya sistem ke-RT-an disusun dengan batas geografis yang tidak mencampurkan pinggir jalan dan belakang jalan, niscaya akan tersusun kebersamaan yang lebih homogen dan nyambung. Warga Tionghoa yang memang asli tinggal di kampung-kampung ternyata sangat membaur dengan warga kampung lainnya. Mereka yang berkultur sama karena ikatan senasib, setingkat ekonominya, setingkat level pendidikannya, benar-benar membaur tanpa rekayasa dan paksaan apa pun.

Cobalah kita main ke kampung-kampung macam daerah Jagalan, Plampitan dan lain-lain di Semarang ,atau daerah kota di Jakarta, di sana "Tionghoa Kampung" biasa saja, sama-sama ngligo bareng-bareng saudara-saudaranya dari suku Jawa, Madura, dan sebagaimanya. Mereka santai kongkouw-kongkouw (ini juga contoh akulturasi bahasa) sambil main gaple.

Tionghoa pengemis juga banyak, kita jumpai di pecinan-pecinan. Sementara itu warga Tionghoa dengan taraf ekonomi yang lain bergabung pula dalam peer-group-nya masing-masing tanpa membedakan suku dan etnis, misalnya dalam organisasi kemanusiaan macam Rotary, dan sejenisnya.

Yang mengikat mereka bukan kesamaan etnis atau suku, tetapi kesamaan visi, pola pengisian waktu luang, kesamaan pandangan dan lain-lain, misalnya demi kemanusiaan tanpa pandang bulu. Dalam masyarakat warga Tionghoa ada patriot-patriot bangsa, tetapi juga ada pengkhianat-pengkhianat. Ada usahawan-usahawan, tapi ada pula pencoleng-pencoleng. Ada pejuang-pejuang, tetapi juga ada bajingan-bajingan (maaf), yang bisa ada pada etnis mana pun dan suku apa pun.

Akulturasi

Kawin-campur natural, demi cinta, bukan rekayasa, adalah sesuatu yang manusiawi dan merupakan suatu bentuk awal akulturasi budaya. Kita tunggu produk-produk akulturasi lain, macam kebaya encim, gambang Semarang dengan primadona "Nyah Sam"-nya, almarhum Ateng alias Kho Teng Lim dengan Trio Bing Slamet, Iskak, Ateng yang pernah berjaya dan berjasa menghibur masyarakat Indonesia, tahu pong atau lumpia, wedang ronde. demikian pula masuknya ornamen Cina pada arsitektur tradisional, seperti di Menara Kudus, Istana Cirebonan, ukiran Madura, Bali.

Semuanya saling memperkaya, keberadaan masing-masing tetap terbaca, dan mencerminkan hakikat manusia yang terus berkarya, mencipta, dan mencari jati dirinya, dari etnis apa pun dan dari suku mana pun. Selamat berakulturasi, Selamat Tahun Baru Imlek, Kiong Hie-Kiong Hie. (18i)

 

-A Rudyanto Soesilo, pengamat masalah budaya, Dosen di Unika Soegijapranata, anggota Pusat Studi Urban dan sedang studi lanjut Filsafat di Universitas Indonesia.

Keywords: Tionghoa, Akulturasi

Share :
     
A. RUDYANTO SOESILO

About me :

Foto Pidato Lustrum I UnikaPidato Dies Natalis XXIX, 5 Agustus 2011Presenting Unity in Diversity ConservationCertificate of the Best paper AwardPembicara utama Seminar Arsitektur PopulisWebinar pembukan Program Doktor Arsitektur Digital

 

  Facebook account

Untuk para pengagum kehidupan, pemikiran, seni, musik dan arsitektur yang berkarya, belajar, mengagumi, mencintai dan ingin menyemaikan nya.

 :

Dr.Ir.A.Rudyanto Soesilo MSA

Lecturer - Architect - Composer 

 :

 :

NB: bila anda membuka blog ini, beri koment n alamat email anda agar dapat berdiskusi, Nuwun